Penjual Gorengan Dlingo VS Penjual Pulsa

Bangun di pagi hari adalah sebuah rutinitas yang wajib di jalani sebagian orang di Dlingo, menjalani aktifitas adalah sebuah tuntutan bagi setiap orang yang memiliki tanggungjawab untuk menafkahi dirinya sendiri maupun keluarga. Ada sebuah cerita kecil yang ingin sekali saya bagi dengan para pembaca yang mungkin belum pernah di fikirkan, namun coba kita lihat gambar berikut :

Dari Foto di atas terlihat sebuah toko berjajar, foto ini saya ambil pada  hari Senin tanggal 30 November 2009 jam 06.30 WIB. Nah dari sini terlihat sebuah perbedaan jenis kegiatan perdagangan antara penjual gorengan dengan penjual pulsa. Lokasi toko tersebut berada di Simpang Tiga Kerdu, Temuwuh, Dlingo, Bantul. Sekarang kita coba untuk menelusuri lebih jauh tentang "Penjual Gorengan dan Penjual Pulsa ini" sebagai berikut :
1. Penjual Gorengan antara Jam 05.00 maksimal jam 06.00 sudah buka warung, sementara itu penjual pulsa buka paling pagi rata-rata jam 07.00 dan maksimal lebih dari jam 08.00.
2. Penjual gorengan menata dagangan setiap pagi dan sore hari supaya tampil menarik, penjual pulsa menata dagangannya sebatas ketika ada barang baru yang datang/dibeli.
3. Penjual Gorengan berusia di atas 45 tahun sedangkan penjual pulsa berusia di bawah 35 tahun
4. Penjual Gorengan harus berfikir tentang usia barang dagangannya, penjual pulsa hanya beberapa barang saja yang perlu di perhitungkan usia barangnya.
5. Modal penjual gorengan lebih sedikit di bandingkan modal penjual pulsa
6. Penjual gorengan harus sering berdiri dalam menjajakan dagangannya sedangkan penjual pulsa rata-rata dalam bertransaksi di dominasi dengan duduk di kursi.
Ok sekarang bisa kita sedikit analisa dari enam gambaran di atas sebagai berikut :
a. Dari sisi rutinitas, maka penjual gorengan secara rutin bangun pagi sekali untuk dapat membeli bahan pokok dan barang-barang lain di pasar induk. Hal ini lah yang kemudian mendidik sebuah kedisiplinan dan kehandalan seorang pedagang dalam fluktuasi geliat ekonomi yang kadang menentu, dengan rutinitas yang seperti ini maka bisa dipastikan bahwa mental berdagang akan semakin kuat. Sementara itu penjual pulsa membuka warungnya rata-rata di atas jam 07.00 WIB, dan pada saat itu market dalam hal ini "PEMBELI" sudah mulai krodit alias sibuk, karena waktu sudah hampir mendekati jam-jam sekolah, kantor dan lain sebagainya. Padahal sebagian besar konsumen membeli kebutuhannya, dalam keadaan normal adalah pada sela-sela kegiatan utama, artinya pedagang akan ramai pembeli pada antara jam 05.30 - 06.45, 11.00-12.30, dan 16.00-20.00. Dapat disimpulkan sementara yaitu Pedagang Gorengan lebih efektif soal pemanfaatan waktu di bandingkan penjual pulsa.
b. Dari sisi Menarik tidaknya barang dagangan memang memiliki perbedaaan yang sanggat menyolok antara penataan dagangan gorengan dan pulsa. Namun apabila di lihat lebih dalam maka penjual gorengan akan lebih terlatih untuk menyiasati tata letak dagangannya di bandingkan penjual pulsa. Sehingga penjual Gorengan akan memiliki modal komparatif berupa ketrampilan dan kreatifitas yang akan selalu terasah setiap hari.
c. Pepatah kata atau slogan " YANG MUDA YANG BERKARYA" lagi-lagi terbantahkan oleh seorang penjual gorengan yang rata-rata berusia lanjut, sedangkan penjual pulsa rata-rata muda namun sering meninggalkan banyak hal yang di anggap tidak penting. Dengan kata lain Penjual gorengan memiliki modal semangat yang besar dengan lebih memperhitungkan segala aspek-aspek yang dianggap tidak penting oleh kebanyakan orang-orang muda.
d. Penjual gorengan setiap hari harus berfikir, mesti tanpa catatan kecil sekalipun dia selalu inggat dagangan apa saja yang laris di pasaran dan dagangan apa yang usianya pendek, dengan keterasahan seperti itu maka sebenarnya penjual gorengan ini sudah harmonis dengan permintaan pasar. Artinya ketika ada gejolak perekonomian mereka cenderung bisa bertahan, karena mereka sudah memperhitungkannya secara terinci meskipun tidak tertulis. sanggat bertolak belakang dengan penjual pulsa, mereka lebih bergantung dengan distributor dan kompetitor, nah Kemandirian yang kuat inilah yang tidak dimiliki oleh seorang penjual pulsa.
e. Kehati-hatian seorang penjual gorengan lagi-lagi juga lebih unggul mestipun modal mereka rata-rata lebih sedikit, berbeda dengan penjual pulsa kehati-hatian mereka cenderung hanya secara normatif meskipun modal mereka lebih besar. Hal ini akan terasa jika kedua pedagang tersebut menghadapi masa-masa sulit dan harus beralih profesi sesuai kapasitas masing-masing, tentu seorang penjual gorengan akan lebih memiliki ketelitian dan kehati-hatian karena mereka biasa bermain dengan modal yang kecil.
f. Dari sisi kesehatan jelas penjual gorengan memiliki kekuatan fisik yang lebih di bandingkan penjual pulsa yang hanya duduk di kursi dan hanya mengandalakn konsep dan fikiran. Padahal angka harapan hidup yang panjang salah satunya di pengaruhi oleh aktifitas fisik yang baik dan berlangsung secara ruitn.
Nah Para pembaca dapat menyimpulkan...sendiri kan.!!!!
Mana yang menang dalam pertandingan dua pedagang ini...Slamat Berkompetisi.

Konfersi Minyak Gas Siapa Beruntung "wonk Dlingo Po Wonk Liyo"

Beberapa waktu lalu Pemerintah memberikan tabung gas bersubsidi kepada masyarakat, namun hal ini bagi sebagian besar masyarakat Dlingo bantul tidak begitu berpengaruh. Hal ini dikarenakan masyarakat tetap lebih memilih kayu sebagai bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga. namun apa bila di lihat geliat roda ekonomi di Kecamatan Dlingo memang beraneka ragam komentar dan apresiasi terhadap konfersi minyak ke gas ini. Bahkan sebagian pedagang bakso, Mie Ayam, soto di pasar dangwesi Desa Terong justru mengeluhkan karena gas jika dipakai untuk memanaskan dalam waktu lama terlalu beresiko dan boros. Lain lagi dengan beberapa penjual gorengan dan roti bakar yang biasa berjualan di seputar Kerdu Desa Temuwuh, mereka merasa lebih ngirit dengan gas dari pada dengan mintak tanah.

Persoalannya adalah sejauh mana konfersi minyak ke gas ini kemudian di ikuti dengan program dan kegiatan lain, yang kemungkinan akan berdampak positif bagi masyarakat yang merasa di rugikan dengan konfersi ini. karana tidak sedikit pula beberapa warung dan ukm yang pada awalnya menggunakan minyak tanah harus mengeluarkan modal agak lumayan untuk tetap berproduksi. Jika hanya berfokus pada efisiensi anggaran mungkian dalam itung-itungan statistik maka akan ada grafik positif dan meningkat secara angka-angka, namun realitas yang terjadi di masyarakat tentu juga selayaknya mendapatkan perhatian.
Kenyataan di lapangan banyak tabung gas 3 kilo-an yang ada di Kecamatan Dlingo banyak di jual pada pembeli yang berasal dari luar daerah, hal ini terjadi karena masyarakat masih mengandalkan kayu bakar dan meyakini bahwa dalam mendukung aktifitas rumah tangga belum begitu memerlukan gas. hal ini bisa di cek di lapangan. pada awalnya berapa tabung yang sudah di bagikan, dan sekarang tinggal berapa yang aktif di gunakan. hal ini perlu di lakukan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas program konfersi ini di tingkat bawah. dan apa yang sebenarnya menjadi harapan dari masyarakat, ya yang namanya masyarakat kalau di bantu ya pasti diterima.. masalahnya adalah sejauh mana bantuan itu dapat bermanfaat dan di gunakan serta di kembangkan sebagaimana mestinya terutama masyarakat sosial kita.

Cino Mati Jalur Cepat Dlingo

"Cino Mati" atau kalau didalam bahasa indonesia bisa di sebutkan "Cina Mati", adalah sebutan bagi sebuah ruas jalan yang mengakses alternatif jalur sebelah barat dari Kecamatan Dlingo bantul menuju pusat Kota Yogyakarta melalui Kecamatan Pleret dan Kecamatan Banguntapan. Dari ibu kota kecamatan ke utara, lalu setelah sampai Desa Terong (tepatnya di perempatan "Ringin Terong") menuju arah barat maka anda akan sampai di ruas jalan Cino Mati.

Ruas jalan ini kira-kira sepanjang 7 kilo meter berkarakter kemiringan jalan yang X-trim. Sepanjang Tahun 2009 tercatat sudah terjadi kecelakaan sebanyak 5 kali dan rata-rata penyebab kecelakaan tersebut adalah ketidak mampuan kendaraan akibat keterbatasan mesin. badan jalan sudah baik dilengkapi dengan irigasi yang memenuhi syarat, namun karena jalan tersebut merupakan jalan tembus yang memiliki kemiringan lereng vertikal curam maka banyak tebing-tebing batu yang masih membahayakan pengguna jalan.
Pada tahun 2009 telah terjadi longsoran tebing sebanyak 4 kali, namun tidak ada korban baik jiwa maupun material. Biasanya Longsoran ini terjadi pada musim hujan dengan debit air yang cukup deras sehingga lapisan-lapisan batu bertanah yang ada tidak mampu menahan laju pergerakan air. sampai sekarang ini potensi tanah longsor di kawasan ini masih besar dan mungkin terjadi.
Dilihat dari sejarah, jalan ini dirintis pada era Soeharto pada waktu itu ada program pemerintah "ABRI MASUK DESA" pada sekitar tahun 1990-an. berawal dari situ kemudian karena wilayah tersebut berbatasan dengan dua kecamatan maka pengerjaan-nya juga melibatkan warga masyarakat yang berasal dari desa Terong dan juga dari Desa Wonolelo Kecamatan Pleret.
Sebutan "Cino Mati" sendiri memiliki beberapa sejarah dan cerita yang berbeda-beda, namun karena keterbatasan informasi maka saya belum akan mengulas lebih jauh. Kawasan ini menjanjikan panorama segar sekaligus tantangan bagi pengembangan wisata yang apa bila di garap secara berkesinambungan akan menciptakan mata rantai kunjungan wisata di Kecamatan Dlingo.