Dlingo : TEMPO Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata sudah menetapkan Jiyono, Kepala Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Bantul, sebagai tersangka kasus pemotongan dana bantuan rekonstruksi gempa. Jiyono, yang dituduh memotong dana bantuan rekonstruksi gempa hingga Rp 2,080 miliar, ditetapkan sebagai tersangka, Senin lalu.
“Penyelidikan sudah selesai, tinggal menyusun berkas penyelidikan dan segera dilimpahkan ke pengadilan,” kata Edy Saputra, Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Kabupaten Bantul, kemarin.
Menurut Edy, Jiyono diduga memotong dana bantuan rekonstruksi tahap kedua di Desa Mangunan selama 2006.
Seperti kepala desa lain, Jiyono beralasan itu “kearifan lokal” yang telah disepakati oleh Musyawarah Pimpinan Daerah dan Kecamatan. Tapi pihak kejaksaan curiga, soalnya jumlah potongan untuk “kearifan lokal” itu mencapai Rp 10,5 juta bagi warga yang rumahnya masuk kategori rusak berat. Padahal, untuk kategori tersebut, korban gempa hanya mendapat bantuan Rp 15 juta.
“Kalau (jumlah) potongannya sampai Rp 10 juta per orang, itu bukan kearifan lokal lagi, tapi perampokan,” kata Edy.
Menurut Edy, potongan barangkali bisa dibenarkan kalau kesepakatan serta peruntukannya jelas. Tapi, jika pemotongan dana digunakan untuk kepentingan pribadi, apalagi jumlah potongannya sedemikian besar, itu tindak pidana.
Edy menegaskan, kejaksaan akan terus membidik satu per satu kepala desa, kepala dusun, dan perangkatnya yang terlibat dalam pemotongan dana rekonstruksi.
Ditambahkan oleh Edy, hingga kini sudah ada sembilan perangkat desa di Bantul yang dijadikan tersangka kasus pemotongan dana rekonstruksi. Tersangka lainnya, dua di Dusun Mancingan XI, Parangtritis Kretek, yakni Kepala Desa Tri Waldiyana dan Bendahara Dusun Wijaya Hadi Sumarno; di Desa Temuwuh, Dlinggo, ada tiga tersangka, yakni Kepala Desa Basuki serta dua anggota tim fasilitator, Suhardiyanto dan Lilik; serta tiga tersangka dari Imogiri, yakni Kepala Desa Selopamioro Sukro Nurharjono, Kepala Bagian Keuangan Desa Seloharjo Sigit, dan Sugiono, pengumpul uang potongan.
“Kasusnya kami tangani satu per satu,” kata Edy. Dia menegaskan, kejaksaan akan terus menyelidiki kasus-kasus pemotongan dana bantuan berkedok kearifan lokal ini.
Bantul Corruption Watch yang terus-menerus memantau perkembangan kasus ini meminta kejaksaan dan pengadilan untuk bekerja independen, baik dalam penyidikan maupun persidangan. Mereka mencatat, ada pejabat maupun orang tertentu yang mulai terang-terangan membela tersangka. Antara lain, ya, dengan alasan kearifan lokal.
Menurut Edy, Jiyono diduga memotong dana bantuan rekonstruksi tahap kedua di Desa Mangunan selama 2006.
Seperti kepala desa lain, Jiyono beralasan itu “kearifan lokal” yang telah disepakati oleh Musyawarah Pimpinan Daerah dan Kecamatan. Tapi pihak kejaksaan curiga, soalnya jumlah potongan untuk “kearifan lokal” itu mencapai Rp 10,5 juta bagi warga yang rumahnya masuk kategori rusak berat. Padahal, untuk kategori tersebut, korban gempa hanya mendapat bantuan Rp 15 juta.
“Kalau (jumlah) potongannya sampai Rp 10 juta per orang, itu bukan kearifan lokal lagi, tapi perampokan,” kata Edy.
Menurut Edy, potongan barangkali bisa dibenarkan kalau kesepakatan serta peruntukannya jelas. Tapi, jika pemotongan dana digunakan untuk kepentingan pribadi, apalagi jumlah potongannya sedemikian besar, itu tindak pidana.
Edy menegaskan, kejaksaan akan terus membidik satu per satu kepala desa, kepala dusun, dan perangkatnya yang terlibat dalam pemotongan dana rekonstruksi.
Ditambahkan oleh Edy, hingga kini sudah ada sembilan perangkat desa di Bantul yang dijadikan tersangka kasus pemotongan dana rekonstruksi. Tersangka lainnya, dua di Dusun Mancingan XI, Parangtritis Kretek, yakni Kepala Desa Tri Waldiyana dan Bendahara Dusun Wijaya Hadi Sumarno; di Desa Temuwuh, Dlinggo, ada tiga tersangka, yakni Kepala Desa Basuki serta dua anggota tim fasilitator, Suhardiyanto dan Lilik; serta tiga tersangka dari Imogiri, yakni Kepala Desa Selopamioro Sukro Nurharjono, Kepala Bagian Keuangan Desa Seloharjo Sigit, dan Sugiono, pengumpul uang potongan.
“Kasusnya kami tangani satu per satu,” kata Edy. Dia menegaskan, kejaksaan akan terus menyelidiki kasus-kasus pemotongan dana bantuan berkedok kearifan lokal ini.
Bantul Corruption Watch yang terus-menerus memantau perkembangan kasus ini meminta kejaksaan dan pengadilan untuk bekerja independen, baik dalam penyidikan maupun persidangan. Mereka mencatat, ada pejabat maupun orang tertentu yang mulai terang-terangan membela tersangka. Antara lain, ya, dengan alasan kearifan lokal.
“Kami terus memantau kasus ini. Jangan sampai penyelesaian kasus pemotongan dana rekonstruksi dipengaruhi orang luar. Pokoknya harus berdasarkan undang-undang,” kata Romadhon, Koordinator Bantul Corruption Watch, kemarin.
0 Melu Omong:
Posting Komentar
Saksampunipun Maos Nyuwun dipon Unek-Unekken