Seminar Nasional: "Pengembangan Basis Data Kemiskinan dari Tingkat Desa"

Dlingo : Jagongan.com : Sudirman Alfian sebagai pembicara pertama mengungkapkan bahwa selama ini desa identik dengan keterbelakangan. Anggapan inilah yang hendak dipatahkan oleh Desa Terong dengan mengembangkan sistem informasi desa yang akurat serta dapat diakses secara online. Bahkan di kantor kepala desa ada touch screen dimana warga bisa menyampaikan keluhannya. “SID ( Sistem Informasi Desa ) adalah database desa yang baik dan valid berisi tentang data penduduk desa yang dibuat sekitar tahun 2008 memuat sekitar  1.600-an Kepala Keluarga”, Pak Dirman mengawali diskusi. Beliau menegaskan bahwa Desa Terong dapat memunculkan program berbasis IT tak lain dikarenakan oleh aparatur desa yang “melek” teknologi dan berkomitmen dalam memajukan desanya
Dilanjutkan oleh Pak Kecuk Suharyanto dari Badan Pusat Statistik yang memaparkan tentang definisi kemiskinan, data makro, data mikro dan upaya pengintegrasian data kemiskinan. Menurut Pak Kecuk kemiskinan adalah “ kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”. Pernyataan tentang kemiskinan juga dipertegas oleh Sekretaris Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Dalam Negeri. Bahwasannya sejak reformasi bergulir dan dipakainya sistem otonomi daerah, desa mempunyai kewenangan untuk memberdayakan masyarakat dengan ketrampilan dan kemampuan dalam mengelola resources yang ada di lingkungan. Sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat agar keluar dari belenggu kemiskinan.
Terakhir adalah pemaparan dari Prof Susetiawan yang akrab disapa Pak Sus, sekaligus menjadi “gong” dari diskusi. “Kemiskinan tidak hanya diukur secara kuantitas saja, melainkan secara kualitas juga” tegas beliau . Sehingga sebelum menentukan konsep dan kriteria tentang kemiskinan terlebih dahulu kita harus mensepakati definisi tentang apa itu kemiskinan. Selanjutnya dapat kita rumuskan solusi apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan.  Menurutnya dengan begitu banyaknya data yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maka timbul pertanyaan apakah data ini memang dibutuhkan masyarakat atau hanya sekadar komoditi. “Kita ini jangan-jangan sedang melanjutkan proses kemiskinan bukan pengentasan kemiskinan,” ungkapnya. Ia pun menghargai upaya Sudirman Alfian sebagai kepala desa bahwa definsi dan pengelolaan data kemiskinan perlu dirumuskan oleh masyarakat sendiri.
Dalam sesi diskusi, Ismail dari Universitas Muhamadiyah mengungkapkan bahwa definisi kemiskinan memang dirumuskan oleh masyarakat setempat. “Parsudi Suparlan telah menyuarakannya sejak lama tetapi gaungnya tidak sampai ke pemerintah. Data-data kuantitatif dan kualitatif seharusnya disejajarkan.” Ismail mengambil contoh di Desa Sukolilo, Pati, Jateng, bahwa komunitas sedulur sikep selalu dikategorikan terpencil dan miskin. Hampir setiap tahun mereka didata tetapi tidak ada perkembangan yang signifikan dalam kehidupan mereka sendiri. “ Kenapa, desa punya kantor tetapi tidak pernah di gunakan?Ternyata didalam pengembangan basis data apa yang dikatakan Focault “Knowledge is power” adalah kenyataan. Basis data kemiskinan tidak pernah ditampakkan dalam catatan tertulis. Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana membentuk mental penyedia data kemiskinan bagi aparat desa,” lanjutnya.
Desa Terong, Dlingo, Kabupaten Bantul DIY telah melaksanakan sebuah pengelolaan data yang partisipatif dan juga dikelola oleh aparat yang kredibel. Mentalitas inilah yang perlu dibentuk dalam sistem kepemerintahan, bukan hanya di tingkat desa tetapi juga dari tingkat pusat. Dengan menyatunya mentalitas, kinerja, maka persoalan kemiskinan tentunya bisa dipecahkan dengan strategi yang jitu. Sehingga Indonesia bukan negara yang sedang melanjutkan kemiskinan, tetapi memang berupaya mengentaskan kemiskinan.

0 Melu Omong:

Posting Komentar

Saksampunipun Maos Nyuwun dipon Unek-Unekken