Dua Warga Dlingo Tewas di Sumur

Dlingo : BANTUL (KR) : Dua warga Karangasem Desa Muntuk Dlingo Bantul masing-masing Sugito (45) dan Ikhwan alias Poniman (45) tewas mengenaskan setelah menghirup gas beracun di sumur yang mereka bersihkan, Kamis (2/12). Kedua korban berhasil dievakuasi setelah Tim SAR bersama warga berjuang selama dua jam. Sementara Suprapti istri Sugito dan Lusiah istri Ikhwan berkali-kali pingsang mengetahui suaminya tak bisa diselamatkan. Menurut saksi Lanjar (45), siang itu korban membersihkan sumur milik warga tak jauh dari rumahnya. 

Awalnya air sumur disedot memanfaatkan mesin pompa. Karena tak kuat, warga kemudian mendatangkan pompa dengan ukuran lebih besar. Setelah air di dasar sumur habis, Sugito langsung turun ke dasar sumur untuk membersihkan sisa tanah liat. Awalnya tak ada keganjilan, tapi setelah berada di dalam sumur, mendadak Sugito berteriak minta tolong. 

Mendengar teriakan dari dasar sumur, warga berniat membantu, namun tak ada yang berani turun. Ikhwan yang saat itu berada tak jauh dari lokasi langsung turun ke dasar sumur. Korban Sugito berusaha dibawa naik. Namun baru dua meter dari dasar, badan Ikhwan tiba-tiba lemas sebelum akhirnya kembali jatuh bersama Sugito dan tewas. “Korban Ikhwan maksudnya mau menolong, karena warga di sini tidak ada yang barani, tapi justru ikut menjadi korban,” kata Lanjar.

Ulah PDAM Dlingo Beberapa Jalan Utama Rusak

Dlingo : Koordinasi pemanfaatan badan jalan di Kecamatan Dlingo perlu diperhatikan, terkait rusaknya beberapa titik jalan rusak disepanjang jalan utama di Dlingo. Apabila dicermati terdapat banyak sekali bekas lubang PDAM Dlingo yang mengembangkan jaringan per pipa an namun tidak memperhatikan para pengguna jalan.

Sepanjang jalan dari arah perbatasan wilayah Gunungkidul tepatnya di Padukuhan Dodogan Jatimulyo sampai simpang tiga Kerdu Temuwuh Dlingo terdapat hampir 8 titik bekas galian PDAM Dlingo yang tidak tertutup sempurna. hal ini tidak urung juga merupakan penyebab kecelakaan berkendara.  Rata-rata bekas galian per pipa an melintang di badan jalan dan beberapa titik mengikuti alur badan jalan seperti terdapat di Padukuhan Ngunut Desa Temuwuh yang menyebabkan terjadinya genangan air jika musim hujan.

Masyarakat secara swadaya sudah berusaha menutup bekas galian tersebut dengan semen secara swadaya, namun tentu hal ini tidak efektif karena secara konstruksi perpaduan aspal dan semen tidak singkron, sehingga tidak mampu bertahan lama. Lebih paranya lagi apabila sudah masuk ke daerah jalur-jalur penghubung antar desa di Kecamatan Dlingo maka bekas galian PDAM Dlingo ini tampak sembarangan dan tidak mengembalikan sesuai bentuk fisik pada awalnya.

Kedepan dibutuhkan korrdinasi antara Dinas Pekerjaan unum dengan PDAM Dlingo agar dalam pemanfaatan jalan tidak merugikan masyarakat terutama para pengendara bermotor. Disamping juga menekan tingkat kecelakaan akibat rusaknya jalan. Atau agar lebih tertata perlu di adakan forum Rencana Tata Ruang Dan Wilayah di Kecamatan Dlingo sebelum terjadi banyak pembangunan dan demi kenyamanan masyarakat. Apabila ini di cetuskan maka pada masa yang akan datang tidak akan ada permasalah terkait pembebasan tanah dan sengketa lahan maupun disharmoni dengan lingkungan antara agen pembangunan dengan masyarakat Dlingo.

Kecamatan Tanpa Minimarket Hanya Dlingo

Dlingo : cetak.kompas.com Bupati Bantul membuka izin operasi minimarket setelah sempat menghentikannya tahun 2008. Syaratnya, jarak minimarket dengan pasar tradisional minimal 1,5 kilometer agar keberlangsungan usaha pedagang kecil tetap terlindungi. Bantul (Kompas) Bupati Bantul membuka izin operasi minimarket setelah sempat menghentikannya tahun 2008. Syaratnya, jarak minimarket dengan pasar tradisional minimal 1,5 kilometer agar keberlangsungan usaha pedagang kecil tetap terlindungi.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Bupati Bantul Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penataan Toko Modern di Kabupaten Bantul yang dikeluarkan 30 Januari 2010. Ketentuan juga mengatur jarak antartoko modern minimal 1 kilometer (km). Penataan itu untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pertumbuhan toko modern dan pasar tradisional. "Untuk mal, supermal atau plaza, izin pendiriannya masih ditangguhkan," kata Kepala Dinas Perizinan Kabupaten Bantul Helmi Jamharis.

Kategori toko modern meliputi minimarket, supermarket, department store, hypermarket, dan grosir berbentuk perkulakan. Minimarket, supermarket, dan hypermarket menjual barang konsumsi, terutama produk makanan dan kebutuhan rumah tangga. Department store menjual barang konsumsi, utamanya produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasar jenis kelamin dan usia konsumen. Toko waralaba. Khusus pendirian toko modern berbentuk waralaba harus memenuhi ketentuan, yaitu jarak minimal 2,5 km dari pasar tradisional. Toko modern itu hanya diizinkan beroperasi di tiga kecamatan, masing- masing Kasihan, Banguntapan, dan Sewon.

Ketiga kecamatan tersebut dinilai pada posisi peralihan antara desa dan kota. Kecamatan lain masuk kategori pedesaan. Peraturan bupati itu juga mengatur penyelenggaraan toko modern harus menggandeng usaha kecil dan koperasi, serta pelaku usaha lain. Selain itu, toko modern juga harus menerima tenaga kerja lokal, menyediakan fasilitas bagi orang berkebutuhan khusus (difabel), dan bertanggung jawab sosial kepada sekitar. Di Kabupaten Bantul tercatat 96 toko modern pada 16 kecamatan. 

Hanya di Kecamatan Dlingo yang belum ada toko modern. "Jika tak diatur, pendirian toko modern akan merugikan dan mematikan usaha kecil, koperasi, dan pasar tradisional di sekitarnya. Peraturan itu akan memberi kepastian bagi warga yang ingin berwira- usaha di bidang itu," ujar Helmi. Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kabupaten Bantul Gatot Suteja mengatakan, peraturan bupati itu tidak akan merugikan pedagang pasar. "Penampilan pasar tradisional terus dipercantik sehingga masyarakat lebih betah belanja di pasar," kata dia. 

Sebagai tindak lanjut atas peraturan tersebut, maka masyarakat Dlingo harus bersiap. Kita menerima bentuk-bentuk pembaharuan, namun hal ini tentu harus mempertimbangkan budaya dan estetika. Dlingo memiliki karakter berbeda, jangan diajari untuk konsumtif, biarkan berkembang sesuai karakternya meski tidak menutup diri terhadap kemajuan jaman.

Usul Penanganan pengungsi Merapi

Dlingo : puskesmasdlgdua.wordpress.com : Sejak letusan dahsyatnya pada tanggal 26 Oktober 2010 lalu, yang merenggut nyawa seorang Abdi Dalem yang sangat setia pada pekerjaannya yaitu Mbah Marijan, Gunung Merapi yang merupakan gunung paling aktif di dunia terus mengeluarkan isi yang dikandungnya berupa Uap Panas yang disertai dengan material vulkanik yang lebih terkenal dengan sebutan wedus gembel. Telah banyak korban jiwa yang berjatuhan Baik yang meninggal maupun yang luka – luka. Bagi mereka yang selamat dan yang menginginkan selamat, maka tidak ada pilihan lain selain mengungsi untuk beberapa saat hingga aktivitas merapi mereda. Beberapa tempat umum disiapkan untuk lokasi penampungan bagi pengungsi. Ada beragam tabiat pengungsi, ada yang taat pada anjuran untuk tidak kembali kerumahnya untuk sementara waktu, namun tidak sedikit yang nekat tetap kembali kerumahnya saat pagi hari dengan segala macam alasannya.

Berkumpulnya banyak manusia secara mendadak dalam suatu tempat dalam jumlah yang besar, jika tidak dikelola dengan bijaksana dapat menimbulkan banyak masalah baru. Mulai dari sulitnya memperkirakan jumlah kebutuhan pengungsi, macam kebutuhan, distribusi bantuan yang cenderung  tidak merata , tidak terpenuhinya kebutuhan akan sarana sanitasi dan sebagainya. Kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit baik akibat kurangnya asupan makanan maupun akibat buruknya sanitasi di lingkungan pengungsian. Yah itulah akibat jika menampung orang dalam jumlah yang besar pada suatu tempat. Lalu bagaimana sebaiknya ?

Mungkin akan beda jadinya jika pengungsi tersebut di pecah dalam beberapa kelompok kecil. Masing masing kelompok terdiri dari 100 – 150 jiwa. Lalu mereka didistribusikan di kelurahan -  kelurahan yang berada ditempat yang relatif aman. Pengungsi bisa ditempatkan di lapangan desa tersebut, dititipkan pada penduduk desa setempat dan meminta pada penduduk desa tersebut untuk membantu semampunya kebutuhan para pengungsi. Setelah itu dibuat peta distribusi kelurahan yang menjadi tempat sementara pengungsi. Untuk kelengkapan informasi, pada peta tesebut dilengkapi dengan data pengungsi yang meliputi jumlah pengungsi, jenis kelamin, jumlah bayi, balita, Lansia, kebutuhan pengungsi, jumlah kebutuhan, jenis kebutuhan, ang telah tersedia, yang belum tersedia serta data – data lain sesuai kebutuhan. Dengan peta dan data tersebut, jika ada yang akan memberikan bantuan dapat diketahui secara lebih tepat  jenis bantuan yang dibuthkan dan jumlahnya. Sehingga tidak ada bantuan yang tidak terpakai, apalagi terbuang sia – sia.  Bantuan yang datang untuk pengungsi, dikelola lewat satu pintu baik penerimaan maupun pendistribusiannya. Peta pengungsi inilah yang dijadikan dasar untuk permintaan dan pendistribusian bantuan sehingga kecil kemungkinan adanya distribusi yang tidak merata, maupun distribusi yang tidak tepat sasaran.

Pengelolaan pengungsi merapi ini sebaiknya dikoordinir oleh Pemda Propinsi hal ini untuk memudahkan administrasi yang terkait dengan penggunaan daerah – daerah yang berada diluar kabupaten yang terkena musibah. Dengan menempatkan (menitipkan) para pengungsi secara terdistribusi, kebutuhan pengungsi baik itu kebutuhan akan makanan maupun sarana sanitasi dapat lebih mudah untuk dipenuhi, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit akibat sanitasi yang buruk dan dapat dicegah pula adanya makanan basi akibat tidak terdistribusi.

Isu-Isu Plosok Dan Prapatan Se-Kecamatan Dlingo

Dlingo : Maksud hati ingin berkeliling mencari sumber-sumber potensi lokal yang ada di Kecamatan Dlingo, Saya mencoba memulai dari perbatasan paling utara di seputar Padukuhan Sendangsari Desa Terong. Terlihat tidak banyak berubah baik dari sisi tata ruang atau budaya sosial kemasyarakatannya. Masyarakat masih mengenal wajah saya meski ada yang masih belum percaya bahwa saya masih terlihat muda "heheheheh". Obrolan dengan beberapa orang disana masih terasa hanggat dan welcome banget. Terlihat beberapa bangunan baru termasuk di tikungan tajam utara makam Padukuhan Sendangsari, wah itu resikonya besar bisa-bisa mobil mblusok masuk rumah...sahut salah satu temen ngobrol saya.

Lalu beberapa orang bilang ada isu hanggat yang sedang berkembang, salah satunya adalah tentang kasus pemotongan dana rehab rekon pasca gempa tahun 2006. Isu itu menjadi konsumsi umum dan memang terjadi ungkap mereka. Cuma karena rasa ewuh pekewuh saja masyarakat mau menerima kenyataan bahwa terjadi pemotongan terhadap dana tersebut. Banyak obrolan menarik disana tapi mungkin isu yang paling berkembang adalah tentang pemotongan dana Rehab Rekon tersebut.

Setelah dirasa cukup, saya lanjutkan perjalanan agak ke selatan tepatnya diprapatan ringin Terong. Wuah kalo disana jangan harap otak tidak pusing. Memang sdulur prapatan Terong ini kadang-kadang memiiki karakter yang lebih kritis terutama terkait dengan kepemerintahan. Ada yang biasa saja dan ada yang bersemangat ketika membahas soal pelayanan pemerintah kepada warganya. "Wong Kok lali janjine..Kapok Yo men!!!" ini adalah salah satu ungkapan yang terlontar saat itu dari salah satu tukang ojek disana. Ternyata mereka malah pesimis terkait penanganan kasus peotongan dana rehap rekon. " Paling Yo Kur Ditutop duit gek meneng!!", ungkap salah satu teman sambil memalingkan wajah melihat mobil yang lewat. Disambung ungkapan lain " Buktine Desa Temuwuh, Lha ngendi ono korupsi kok kur dewe, mosok korupsi kok kur lurah tok, ge liyane po yo tenan ne ra melu mangan duit ki!!!".  "Intine ki ne duit ki menang, sopo due duit ki iso tuku hukom"....Huh...Ungkapan yang sering saya dengar dari masyarakat pada umumnya...Tapi saya biasa apa????

Kira-kira satu jam berada diprapatan ringin Terong saya lanjutkan ke arah Muntuk, niat hati ingin melihat panorama pemandangan hutan pinus disana. Sesampainya disana ada seorang laki-laki pencari kayu hutan. Lagi-lagi sebuah cerita yang miris di hati saya, laki-laki itu bilang bahwa "tiang mboten gadah niku entene namung manut mas", "ken ngaler-ngaler, ken ngidul geh ngidol". saya coba masuk untuk menggali sumber potensi yang ada di desa muntuk, lalu laki-laki itu malah bilang "ne kulo mboten retos mas, reti kulo beras raskin niku do di bagi roto, trus bantuan omah-omah niku ge ngoten, pokokke ne ten riki kabeh dibagi roto, ning geh tiang-tiang tertentu niku angger-angger bar onten bantuan tumbas montor, mobil, trus enten sing mbangun omah gedong. Huh..Masyarakat kecil di Dlingo sudah dianiyaya, Mereka sudah dirampas hak-haknya, tapi meski begitu ternyata keluhuran budaya mampu meredam kemelartan tersistem masyarakat yang diciptakan oleh orang-orang cerdas yang menindas.

Cukup kiranya perbincangan kami dihutan pinus desa Muntuk, saya lanjutkan ke kebun buah mangunan, panorama disana memang indah meski agak sedikit panas namun kesejukan angin membuat kelegaan tersendiri. Seorang perempuan muda terlihat membawa anaknya bermain diseputar kolam buatan di sana. Kucoba hampiri dan betegur sapa, mulai dari perbincangan biasa dan berakhir dengan sebuah keluhan yang sama dengan umumnya kalangan masyarakat di Dlingo. "Alah mas ne ten riki niku sing penting nderek tiang katah, terutama tokoh-tokoh masyarakat poro pejabat". "Sing penting anak mboten rewel mboten nagis". Sungguh sebuah kepasrahan yang menentramkan, memang di Desa Mangunan terdapat sumber-sumber potensi lokal yang memberdayakan masyarakat dan masyarakatnya mudah untuk digerakan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Terlepas dari itu semua ternyata Desa ini juga tidak terlepas dari goncangan isu korupsi yang sampai saat ini belum jelas progres penyelesaiannya.

Waktu sudah agak siang kira-kira jam 11.45 WIB saya beranjak meninggalkan Desa Magunan dan bergegas ke Desa Dlingo. Tepatnya di warung sate pak wandi komplek pasar tradisional Dlingo, minum es teh sambil menikmati sate kambing kesukaan. Wah rupanya di Desa Dlingo juga ada isu strategis terkait pembangunan pasar tradisional Dlingo. "Pasar niki ajeng di bangun, ning ingkang gadah lemah niku njaluk ijol duit, ge kadose dereng onten kesepakatan harga". Nah trus pripun ne kareppe masyarakat/pedagang?? tanyaku : " geh ne kulo niku geh pun sekeco ten riki, lokasine geh strategis, ge pulung pasar niku rak geh onten to mas?, ne di pindah ge mangkih le sewa kios mesti mundak terus, lha ne kulo ne kiro-kiro mekaten kahanane geh malah ajeng nyewa lemah mawon ge mboten manggeni komplek pasar."

Selesai makan saya keluar dari warung dan berbincang dengan masyarakat asli Desa Dlingo yang sedang berdagang di pasar Dlingo. " Wingi niko pak."Salah Satu Tokoh Mayarakat Tidak Saya Sebutkan" malah ajeng do paten-patenan mergo mboten gelem ngakeni ne nompo duit bantuan gempa." lah masalae nopo? "masalahe pak "N" niku ngumpulke duit saking Pokmas ge diserahke pak "LJ" ning jarena pak "LJ" mboten ngakoni nompo" lah niku rak dadine pak "N" Sterss ge mboten nate metu kit saniki. Lalalalalah..Kok ya dimana-mana sama saja.

Tidak puas berkeliling saya masih lanjutkan mampir di salah seorang teman di Desa Temuwuh. nah berbeda lagi kalo disana, di Desa Temuwuh ini malah memiliki seorang pahlawan yang terpendam katanya "loh kok bisa" lah itu pak Rukiyono padukuhan Salam", dia berani mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan kebenaran atas kasus-kasus yang terjadi di desa Temuwuh. Kalo Pak Rukiyono mau jadi Lurah malah akan didukung dan dibiayai oleh warga ungkap salah satu teman. Imbuhya lagi :" Mosok Lurahe di Vonis kok liyane ora, Padahal kabeh pokmas ki reti le setor ning gone sopo wae". Intine ki, ne due duit abang iso digawe ijo, ijo iso digawe abang".

Suasana agak gelap karena memang kayaknya mau hujan, kebetulan saya ingat ada urusan sedikit di daerah Padukuhan Loputih Desa Jatimulyo. Saya pun bergegas menuju ke lokasi dan menyelesaikan urusan dan alhmdllilah kelar juga. Tidak senggaja bertemu teman mbraung"Teman lama dulu", lalu bercerita-cerita tentang kehidupan dan beban hidup yang telah dijalani. Sambil guyon karena dia juga merupakan salah satu pembantu dan tenaga lepas yang sering membantu pemerintah Desa Jatimulyo juga menceritakan pekerjaannya. katanya "kalo di desa jatimlyo relatif aman, karena dana rehab rekon di kelola oleh warga langsung. Tapi beberapa bulan yang lalu tidak tahu kenapa hampir seluruh pamong desa di desa Jatimulyo pada kebinggungan mencari sebrakan dana. Ada yang butuh 75 Juta, 80 Juta, dan bahkan ada yang 100 juta. Wah pamong desa kok kaya raya, hebat pikirku. Pertnyaan saya kemudian adalah : "Kok bisa seluruh pamong desa butuh duit dalam waktu yang sama meski dengan jumlah nominal yang berbeda tapi besarannya cukup fantastis apabila di kaitkan dengan kelayakan seorang pamong desa". lalu sahut temen saya "yo mbuh lah, mungkin yo di go setor ben ra di ungkap".

Hampir maghrib rupanya tidak terasa, namun saya masih menyempatkan diri untuk minum Coffemix di salah satu warung yang ada di komlek pasar dangwesi. Disana masyrakat/pedagang resah terkait pembangunan pasar dang wesi yang sampai sekarang belum mengetahui model pengelolaan pasca dibangunnya pasar tersebut. Mereka juga menunggu pengelola pasar untuk memberitahukan besarnya ongkos sewa yang akan dibebankan pada para pedagang. Mereka berharap agar para pedagang yang sudah menempati lahan tersebut mendapatkan prioritas karena selama ini juga belum ada pendataan terkait hal tersebut. Kekhawatiran mereka adalah terjadinya harga sewa yang berbeda-beda dan tidak seragam, sehingga terjadi pungutan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Huh...Dlingo harus mulai berbenah, Dlingo jangan dijadikan objek-objek eksploitasi sosial, Seharusnya tekanan ekonomi tidak dijadikan sebagai alasan untuk menindas, karena masyarakat Dlingo masyarakat yang berbudaya dan manut pada para tokoh. Kewajiban para generasi muda untuk berperan mendampingi masyarakat, kasihan mereka bukan sapi perah, bangkitlah dan mulailah dengan lingkungan terkecil tempat di mana anda berada, dengan kemampuan yang anda miliki.