Mandi di Kali Oya Dodogan Dlingo, Pelajar SMA Tewas

Dlingo : sorotgunungkidul.com : Nasib naas menimpa Hari Mahardhika (16), warga RT 06/05 Gembuk, Getas, Playen. Siang tadi korban datang dengan 4 rekan sebayanya ke Sungai Oya untuk mandi, Hari yang juga siswa kelas II SMA MA YAPPI Gubukrubuh Playen kemudian ditemukan dalam keadaan tewas ditepi Sungai Oya yang berjarak 4 kilometer dari rumahnya.

Kronologis peristiwa ini bermula saat Hari bersama Nanang (16), Udin (15) dan Sutarno (16) kesemuanya tetangga dekat korban siang tadi pukul 12.00 WIB datang dan bermain di Sungai Oya yang masuk wilayah Padukuhan Dodokan, Jatimulyo, Dlingo, Bantul. Dua orang diantaranya yakni Hari dan Nanang kemudian berenang, sedangkan Udin dan Sutarno hanya melihat dari pinggir Sungai Oya. Hari yang tak pandai berenang tiba-tiba tenggelam dan jasadnya baru ditemukandan berhasil dievakuasi pukul 14.30 WIB oleh aparat Polsek Dlingo yang dibantu Polsek Playen.

Menurut Ka SPK Polsek Playen, Aiptu Waskito korban ditemukan oleh anggota sudah dalam keadaan tewas, “Yang pertama kali datang ke TKP Aiptu Hari Sumaryanto bersama Brigadir Gunawan, posisinya sekitar 200 meter sebelah utara jembatan Kali Oya yang juga perbatasan Gunungkidul dengan Bantul. Berhubung TKP masuk wilayah hukum Polres Bantul, maka anggota dari Polsek Playen sifatnya hanya membantu hingga membawa pulang jenazah ke rumah duka,” jelasnya.

Terpisah salah seorang kerabat korban, Suyatno (40) menuturkan, “Korban ini anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini posisi Suyanto (42) dan Iyam (40), atau bapak ibu beserta adiknya masih di Jakarta. Saya nggak tahu bagaimana asal mulanya kok bisa seperti ini, tahu-tahu saya sudah diberi kabar kalau si Hari meninggal di Sungai Oya dan sekarang rumah duka sudah penuh pelayat seperti ini. Padahal setahu saya semalam saja anaknya masih ketemu saya saat dia naik motor,” tuturnya setengah kebingungan.

Pasar Dangwesi-Dlingo sebagai lokasi Sekolah Pasar Rakyat

Dlingo : Bewe33.blogspot: Sabtu, 5 Oktober 2013 Tim Sekolah Pasar Rakyat Dlingo beserta Ketua Umum Sekolah Pasar Rakyat bapak Puthut Indroyono membuka pertemuan pertama dan peresmian Sekolah Pasar Rakyat di Pasar Dlingo dan Pasar Sendang Wesi, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Acara pertemuan pertama dan peresmian Sekolah Pasar Dlingo. Acara berjalan lancar, seperti acara pada umumnya diawali sambutan-sambutan dari Disperindakop Kabupaten Bantul, Perwakilan Pemerintah Desa, Lurah Pasar, Perwakilan Pedagang Pasar dan Perwakilan dari Tim Sekolah Pasar Rakyat. Dilanjutkan sesi pemaparan tentang Sekolah Pasar oleh bapak Puthut, kontrak belajar, pemilihan pengurus Sekolah Pasar Rakyat Dlingo - Sendangwesi dan rencana kurikulum"materi" di langsungkan dengan diskusi dan dengar pendapat, penentuan hari kelas dan klinik Sekolah Pasar nantinya.

Hasil Petemuan :
1. Sekolah Pasar Rakyat Dlingo dan Sekolah Pasar Rakyat Sendang Wesi, digabung menjadi satu Sekolah Pasar Rakyat "SPR Dlingo-Sendangwesi"
2. Pertemuan kelas dan klinik Sekolah Pasar Rakyat Dlingo-Sendangwesi setiap hari pasaran yaitu : Pahing dan Kliwon
3. Lokasi pelaksanaan pertemuan, kelas dan klinik dilakukan secara bergantian yaitu ; hari pasar minggu pertama di Pasar Dlingo dan hari pasar minggu kedua di Pasar Sendangwesi
4. Materi kelas berdasarkan modul sekolah pasar yang beradaptasi dengan kondisi Pasar Rakyat Dlingo-Sendangwesi
5. Kamis 10 Oktober, disepakati menjadi kelas pertama yang akan dilaksanakan di Pasar Dlingo.

Kondisi pasar yang alakadarnya, tidak menjadikan pedagang di sana kemudian patah semangat atau berdagang dengan apa adanya. Para pedagang tetap terlihat semangat menjadikan diri mereka sebagai pedagang yang "melayani" konsumen dengan sebaik mungkin. Senyum, sapa, saling tanya kabar, antara pedagang dan konsumen tetap melekat, budaya lemah lembut, budaya utang-piutang, budaya ngeluihi "memberi bonus berat timbangan" masih dipegang oleh pedagang. Semua sama, tidak ada yang berbeda. Di sini sebagai pribadi kemudian saya melihat betapa kearifan lokal ke-Indonesian di Pasar Tradisional yang terus saja hidup dalam kondisi apapun, sehingga menjadi sebuah gambaran bahwa pasar sebagai mana fungsinya "tempat berkumpul, bertemunya penjual dan pembeli" yang di sana terjadi interaksi sosial yang tidak dapat lepas dari sekedar aktivitas ekonomi semata. Hal ini yang tidak boleh luntur apalagi sengaja dihilangkan dengan konsep modernisasi layaknya sistem retail modern "yang pelayannya mengucapkan salam setiap kali konsumen masuk, sebagai ceremonial semata yang terkadang diputar berulang-ulang dari soundsistem di atas pintu" penjual dan pembeli hanya melakukan aktivitas ekonomi.

Sekolah Pasar Dlingo, itu tantangan. Medan yang cukup menantang dan jarak yang cukup jauh bagi saya sebagai Individu, kemudian status sebagai mahasiswa dan ditambah lagi Sekolah Pasar Dlingo diselenggarakan berdasarkan hari pasaran menjadikan tim akan kesulitan dalam mengatur jadwal mereka antara kuliah dan mengabdi di Pasar.
 
Akan tetapi, ini adalah semangat baru, ini pertama di Sekolah Pasar Rakyat, satu tim dan satu program langsung untuk dua pasar. Sebuah tantangan hendaknya menjadikan sebuah penyemangat baru. Semoga kedepannya, Sekolah Pasar Rakyat Dlingo-Sendangwesi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dicita-citakan bersama. Sehingga "jangan ijinkan hati ini menjadi kerdil dan takut, karena fungsi kaum yang sempat mengenakan almamater adalah pengabdian".

HARI KE 8 PELAKSANAAN TMMD DI DUSUN REJOSARI DLINGO MASIH TETAP SEMANGAT


Dlingo : HumasPolresBantul: TNI, Polri (Polres Bantul) dan masyarakat bersatu padu bahu membahu membuat jalan sepanjang 750 meter dengan lebar 6 meter dan pembuatan jembatan yang menghubungkan dusun Rejosari, Terong dengan Dusun Semuten, Jatimulyo Dlingo. Kegiatan ini dalam rangka TMMD (TNI Manunggal Membangun Desa) yang ke 91 tahab II tahun 2013.  
 

Pelaksanaan kegiatanTMMD pada hari ke 8 ini sudah mencapai hasil kurang lebih 40 % dari yang ditargetkan. Dengan semangat anggota TNI/Polri dan masyarakat meratakan tanah yang akan disiapkan untuk membuat jalan bahkan sebagaian yang lain mengangkat batu kemudian memecahkannya dengan godam dan menatanya untuk dasar jalan dan pondasi pembuatan jembatan. Mereka berharap jembatan dan jalan segera selesai agar bisa dapat dirasakan oleh masyarakat.  
 
Kapolsek Dlingo mengatakan, kami bangga melihat TNI, Polri dan masyarakat bisa menyatu bahu membahu membuat jalan dan jembatan secara bersama sama, ini selain akan membuat pekerjaan terasa enteng juga bisa menambah tali silahturohmi di antara kita sehingga bisa menumbuh kembangkan budaya gotong royong dan keperdulian serta kebersamaan terhadap masyarakat. Polri akan selalu siap sedia membantu masyarakat apabila dibutuhkan tenaganya, katanya. 
 
Untuk hari ini sementara kegiatan TMMD berakhir pada pukul 14.30 Wib dan esok hari akan dilanjutkan dengan bergiliran hingga benar benar jalan dan jembatan selesai 100% dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

REFLEKSI DESA DESA DLINGO Antara HARAPAN dan KENYATAAN

Masyarakat umumnya terlanjur salah kaprah dalam memahami proses pembangunan Janji-janji kampanye calon Lurah Desa pada saat proses pemilihan tidak terseleksi secara benar dan terbuka sesuai pemahaman awam, "TIDAK TERJELASKAN". Kelincahan para pelaku politik tingkat desa menyamarkan hampir disetiap kelemahan dan kebobrokannya dengan gelar ketokohan yang disandangnya. Sehingga objek politik (Masyarakat) yang relatif awam terkait sumber-sumber pendanaan cenderung merasa telah terjadi perubahan didalam proses pembangunan desanya.

Janji Kampanye calon Lurah desa bisa dipastikan sebenarnya melebihi ekspektasi kemampuan si calon lurah itu sendiri. Hal ini terlihat bahwa sebenarnya apa yang dijanjikan adalah bukan sebuah inovasi namun merupakan program yang sudah ada dan berjalan atas dana-dana yang berasal dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Artinya adalah bahwa inisiasi dan inventarisasi kebutuhan masyarakat diperoleh bukan melihat pada kendala-kendala hakiki yang terjadi secara spesifik pada tataran lokalitas kewilayahan lingkungan desa namun semata-mata disambung-sambungkan dengan program dan kegiatan yang disediakan anggarannya oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Memang ada sebuah keharusan sinergitas antara pemerintah desa dengan pemerintah diatasnya, namun harus juga dilihat bahwa tidak semua konsep pembangunan dan mekanisme penganggaran pemerintah daerah juga pusat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya terjadi secara lokalitas di wilayah desa. Disinilah seharusnya posisi seorang calon lurah diuji kemampuannya dalam membangun sebuah konsep pembangunan berbasis kemandirian untuk ditawarkan kepada masyarakat sebagai pemilih.

Kecenderungan-kecenderungan evoria proses kemenangan politik, mengesankan diri sebagai pembawa perubahan serta pencitraan justru menjadi sebuah tontonan monoton yang dipertunjukan ketika seorang lurah berhasil menjabat dan terpilih sebagai lurah desa. Dalilnya adalah mengambil hati masyarakat dengan slogan-slogan yang sebenarnya membodohi masyarakat. Kemajuan jaman dan pesatnya teknologi selalu saja menjadi sebuah icon konyol dan terlihat kurang persiapan meskipun dalam persepsi masyarakat akan tampak moderen dan cangih, dan dapat dipastikan juga tidak akan banyak masyarakat yang memanfaatkan produk teknologi tersebut.

Jika dilihat secara seksama, dapat diketahui berapa persen seorang lurah mampu berinisiasi dengan kemampuan sendiri dan dengan konsep berdikari. Namun yang terjadi bertolak belakang dengan yang selama ini selalu digaungkan. Seorang lurah cenderung mengajari masyarakat untuk menjadi pengrajin PROPOSAL. Proposal tersebut terkadang dikonotosikan dengan suntikan dana dan diklaim "KALAU BUKAN SAYA "LURAH DESA" TIDAK AKAN ADA PEMBANGUNAN", padahal modalnya adalah proposal dari masyarakat, artinya desa cuma sebatas sebagai fasilitator saja, ironisnya setelah dana-dana proposal itu cair maka lurah dan desa lebih mendominasi dalam proses pelaksanaannya. Sehingga ketika dari awal sudah bersifat pemberdayaan dan partisipasi aktif, ditengah mendapatkan fasilitasi dari desa namun di akhir ketika dana cair maka seorang lurah dan desa membuat aturan-aturan pelaksanaan yang jauh menyimpang dari konsep pemberdayaan dan partisipatif tersebut baik tertulis maupun secara kesepakatan saja.

Kemandirian masyarakat desa bisa terwujud tanpa perlu dirangsang dengan bantuan dana. Upaya memandirikan masyarakat desa dan membangun pemikiran yang positif sebenarnya dapat saja dikembangkan dan dilakukan dengan memberikan fasilitasi bimbingan dan pengarahan kepada para pekerja sosial di desa untuk melakukan inventarisasi sesuai tantangan dan hambatan spesifik yang dialami didesanya untuk kemudian dicarikan solusi. Perubahan mind set masyarakat bahwa tidak melulu bantuan harus dengan proposal dan uang harusnya segera dibangun.

Dari sisi pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa, budaya pengrajin PROPOSAL merupakan sebuah kelemahan mendasar namun selalu saja dilakukan dan berulang-ulang. Entah apa yang mendasari namun dengan cara ini seorang lurah secara langsung sudah mengingkari janji kampanye yang sudah dikoar-koarkan kepada masyarakat. Masyarakat dibodohi oleh lurah terpilih karena sebenarnya si LURAH tidak mempunyai kemampuan managerial baik serta konsep yang tajam dan bersifat lokal/tidak memahami kebutuhan warganya, karena hampir setiap persoalan selalu diatasi dengan PROPOSAL dan mencari bantuan dana.

Sementara itu  ada Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan untuk menjabarkan UU No 8 / 2005 tentang Perubahan atas UU No 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keberadaan PP Nomor 72 Tahun 2005 ini juga amat strategis. utamanya yang terkait dengan kemandirian desa, dan sebagai lurah desa terpilih kebanyakan dalam memimpin desa lebih suka membawa dalil agamis dan berkerudungkan amal baik dengan "sisa lebih" dari proposal dan bantuan yang cair. Hal ini kurang pas karena ketika berbicara dalam konteks "LURAH" sebagai bagian dari "APARATUR NEGARA" seharunya kitabnya adalah "PANCASILA dan UU NKRI". PANCASILA dan UU NKRI adalah sebuah terjemahan atas hasil pengkajian mendalam dari kitab-kitab suci agama oleh para pendiri bangsa ini, dan dikhususkan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pada tataran paling bawah adalah pemerintahan desa.

Pemanfatan sumber daya dan potensi desa berdasarkan peraturan tersebut seharusnya menjadi sebuah ajang berlomba bagi para lurah desa untuk berkreasi dan berinovasi dan berimprovisasi dengan tema pembangunan yang dijalankan pemerintah, bukannya dijadikan sumber utama pendapatan apalagi sebagai ajang pembenaran atas bertumbuh dan mengembangkan budaya proposal meskipun hal tersebut di bolehkan. Jika hal tersebut dijalankan dan turun temurun maka sesunguhnya bom waktu itu dibuat oleh para lurah desa dengan memberdayakan senjata PROPOSAL dan meminta-minta. Inggat negara sebesar Amerika serikat saja bisa bangkrut pemerintahannya, coba bayangkan jika negara ini bangkrut sementara budaya proposal menjamur...? kekacauan pasti terjadi dan masyarakat pasti tidak mampu berbuat apa-apa karena selama ini mereka dibudayakan meminta-minta dengan PROPOSAL?..mau minta siapa jika negara bangkrut padahal hidup harus terus berjalan..?????

Potensi desa adalah sumber daya yang dimiliki desa yang dapat digunakan dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah akan memengaruhi perkembangan wilayah desa terkait. Pola inventarisasi terhadap kebutuhan masyarakat desa setidaknya dapat dipahami dan digolongkan sebagai berikut :

1. Wilayah desa berpotensi tinggi: Terdapat di daerah dengan lahan pertanian subur, topografi rata, dan dilengkapi dengan irigasi teknis maka Kemampuan wilayah tersebut untuk berkembang lebih besar.
2. Wilayah desa berpotensi sedang : Terdapat di daerah dengan lahan pertanian agak subur, topografi tidak rata, serta irigasi sebagian teknis dan semiteknis. Wilayah model seperi ini masih cukup mempunyai kemampuan untuk berkembang.
3. Wilayah desa berpotensi rendah : Terdapat di daerah lahan pertanian tidak subur, topografi kasar (perbukitan), sumber air bergantung pada curah hujan dan sumur dalam. Wilayah ini sulit untuk berkembang namun bukan berarti tidak berpotensi untuk maju.

Alih-alih dalil-dalil pembawa perubahan namun jika berani jujur, bukankah selama ini hanya mengandalan bantuan dan anggaran rutin desa. Lalu apa yang akan diwariskan pada generasi kedepan..."KALAU BUKAN KETERGANTUNAGAN, APA LAGI?".....PEMBODOHAN ini terasa sanggat, masayarakat tidak tahu tapi waktu yang akan menjawab...