Asal usul Cerita awal mula penamaan nama-nama desa dan dusun di Kecamatan Dlingo Bantul memiliki beberapa versi, saya akan mencoba untuk memberikan sedikit informasi terkait asal usul pemberian nama-nama padukuhan dan desa di Kecamatan Dlingo bantul, secara bertahap saya akan mulai dari padukuhan maladan dan banyuurip.
Berawal dari aktifitas seseorang yang bernamaKi Cakrajaya Beliau adalah seorang tukang nderes nira kelapa kemudian hasil dari deresan itu diolah menjadi gula. Karena saking miskinnya, dia juga dipanggil “Ki Petungmlarat”. Meskipun demikian, orang mengenalnya sebagai seorang yang kuat bertirakat/tapa brata, sehingga menjadi luhur budinya dan sakti ilmunya. Karenanya, Ki Cakrajaya di-”tua”-kan di wilayahnya.
Suatu hari, ketika Ki Cakrajaya akan memanjat pohon nira datanglah seseorang alim dan bertanya kepadanya “Kisanak, apa sebabnya setiap kali engkau memanjat batang nira kelapa selalu saja mengucapkan kalimat “Clontang-clantung, wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora?“?” lalu Ki Cakrajaya menjawab “Itulah mantra agar hasilnya melimpah”,….“Ah, apa yang Kisanak ucapkan itu salah ”. Kata seseorang yang alim tadi, “Salah dan kurang tepat? sahut Ki Cakrajaya, Ah, anda rupanya belum kenal denganku. Akulah Ki Cakrajaya, tukang nderes sudah sejak masa kecilku. Itu merupakan ilmu warisan leluhurku dan mantra itupun bukan sembarang mantra!” katanya.
“Betul kata-katamu, Kisanak. Tapi aku mempunyai mantra yang lebih unggul, yang akan bisa menghasilkan lebih banyak dari mantramu itu”, kata lelaki ‘alim dengan perbawa mantap itu “Buktikanlah, Kisanak!” pinta Ki Cakrajaya. “Baiklah, ijinkanlah aku melihat cara Kisanak mengolah legen (nira) itu”. Ki Cakrajaya lalu mengajak laki-laki tadi ke rumahnya, lalu menunjukan bagaimana cara membuat gula. Sang tamu kemudian juga mencetak gula aren satu tangkap. Lalu cetakan itu diserahkan pada Ki Cakrajaya dengan pesan agar jangan dibuka sebelum dirinya pergi. Setelah orang alim itu keluar dari rumah Ki Cakrajaya dan sudah tidak tampak lagi, Ki Cakrajaya segera membuka cetakan gula hasil buatan orang yang tak di kenal tadi. Matanya terbelalak karena isinya bukan lagi gula, melainkan setangkap emas yang berkilauan. Ki Cakrajaya tersadar, bahwa ternyata tamunya tadi bukanlah orang sembarangan. Diapun mengejar sang tamu, setelah bergegas mencari akhirnya Ki Cakrajaya berhasil juga mengejar dan menemukan laki-laki misterius itu, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga; anggota Wali Songo yang termasyhur di kalanganrakyat jelata.
Karena dibuat penasaran dan rasa ingin tahu yang besar, Ki Cakrajaya akhirnya minta diajarin “mantra sakti” tersebut dan bersedia menjadi murid Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga untuk pertama kalinya mengajarkan syahadat. Sejak saat itulah, Ki Cakrajaya selalu diajak Sunan Kalijaga mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain sambil menyebarkan dakwah Islam. Suatu saat, Sunan Kalijaga pamit Kepada Ki Cakrajaya, beliau ingin sembahyang ke Mekkah. "dalam riwayat yang lain dikatakan ke Demak/Cirebon." Kemudian Ki Cakrajaya diperintahkan untuk menunggu tongkatnya.
Ki Cakrajaya kemudian duduk bersila, penuh khidmat. Saking lamanya, tubuh Ki Cakrajaya ditumbuhi rumput belukar dan bambu berduri. Tempat bertapanya itu pun berubah menjadi semak belukar yang rimbun dan sanggat padat dengan tanaman liar “Grumbulan”. Lalu di tempat lain Sunan Kalijaga teringat bahwa ia telah meninggalkan muridnya, maka datanglah Sunan Kalijaga ke tempat dimana Ki Cakrajaya pada saat di tinggalkan bersama tongkatnya.
Petilasan Tempat Pembakaran Sunan Geseng Saat Ini Berdiri Masjid "Ragil Maladan"
Setelah sampai ke tempat itu ternyata tempat tersebut sudah menjadi semak-belukar yang begitu rimbun dan rapat, maka oleh Sunan Kalijaga dibakarlah semak belukar dan bambu berduri itu. Setelah semak belukar tersebut terbakar habis, tampaklah sosok hitam kelam yang sedang bersila, akhirnya Ki Cakrajaya ditemukan namun Ajaibnya, Ki Cakrajaya tidak cedera sedikitpun. Hanya kulitnya saja yang berubah menjadi hitam. Karena hitam (Jawa=geseng), maka Sunan Kalijaga memberikan gelar dan memanggil Ki Cakrajaya dengan sebutan menjadi “Sunan Geseng“.
Lalu proses pembakaran itu menghasilkan nama sebuah Dusun di desa Jatimulyo dlingo bantul, yaitu Dusun Muladan/Maladan, Berasal dari kata ‘mulad‘ (berkobar-kobar). Lalu kemudian berjalanlah kedua kekasih Allah tersebut ke timur, lalu sampailah mereka pada sebuah lembah, kemudian sunan kalijogo menancapkan tongkatnya kembali dan tiba-tiba keluarlah air yang memancar dari dalam tanah, Sunan kalijaga lalu meminta Sunan Geseng untuk mandi dan membersihkan tubuhnya yang telah terbakar.
Masjid Ragil Maladan Tempat Sunan Geseng Dibakar
Sungguh ajaib Sunan Geseng pun tampak utuh dan tubuhnyapun kembali seperti semula. lalu Kotoran hasil bersih-bersih badan itu konon ceritanya terbawa hingga ke Sungai yang kemudian oleh masyarakat di sebut Kedung Pucung. sedangkan air yang memancar dari tongkat Sunan Kalijaga sekaligus tempat mandi Sunan Geseng itu kemudian disebut Sendang Banyu Urip. Kemudian lokasi sekitar sumber air tersebut diberinama Dusun Banyuurip. Berdasarkan cerita rakyat, sisa bekas luka dan kotoran sunan geseng itu menjadi ikan lele yang di keramatkan sampai sekarang dan bertempat di Kedung Pucung.