Marhaenisme sebagai sebuah pemikiran, sudah muncul sejak jaman pergerakan, yakni sekitar tahun 1920-an. Soekarno adalah figur gerakan yang paling menonjol sesudah pemberontakan 1926, sekaligus tokoh yang memperkenalkan "marhaen" kepada tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu, mengasosiasikan "marhaen" sebagai lapisan masyarakat yang memiliki alat produksi (seperti kerbau, bajak, dan sebagainya), dan bekerja untuk diri sendiri, namun hidupnya tetap saja miskin. Kaum tani, dan klas-klas terhisap lainnya tanpa terkecuali. Dlingo Bantul adalah sebuah wilayah yang menjadi bagian dari sejarah besar marhaenisme memiliki berbagai riwayat marhenis yang di jiwai oleh para pelopor-pelopor lokal yang menjiwai nasionalisme indonesia yang di gagas oleh Soekarno. Mereka ungkin hanya segelintir orang saja, sehingga tidak mungkin terekspose oleh media apalagi dalam buku sejarah. Nama-nama mereka ditengelamkan oleh kepentingan-kepentingan politik yang arogan dan srampangan karena dalam pergerakannya mereka hanya mengelola wilayah kecil yang bernama Dlingo..
Namun mereka tetap bergerak tanpa afiliasi partai maupun organisasi sosial apapun, karena mereka sadar bahwa perjuangan mereka hanya akan di cemooh ketika bercerita tentang arti sebuah nasionalisme kepada para praktisi yang lebih moderen dan cerdas. Mereka hanya mengenang makna Marhenisme melalui pemberian nama pada anak-anak mereka seperti " Titik Marheni " atau " Siti Suparni = Susunan Partai Nasionalis Nasionalis Indonesia" atau "Bambang Marhaeyanto" karena gerak mereka pastilah akan dianggap sebagai sebuah pembangkangan pada waktu itu.
Namun apakah mereka berharap untuk mendapatkan penghargaan dari keturunan penggagas Marhenis ini, jawabannya adalah tidak, mereka lebih suka memaknai jiwa marhaen ini dalam kalbu yang paling dalam yang tidak bisa di tukar apa lagi di beli. Berbeda dengan para praktisi dan para penggagum Soekarnoisme sekarang yang hanya sekedar kutu loncat, cari makan, dan mengacak-acak konsep Marhaenis dan nasionalisnme Indonesia. Sehingga wajar saja para Marhaenis di dlingo lebih baik undur diri, mereka tidak mau lagi adu jotos dengan teman sendiri, mereka lebih suka menghidupi diri dan membiarkan diri mereka miskin namun mereka tidak akan pernah lapar dan haus, karena semangat marhenisme yang selalu dan masih membara.
Riwayat marhenis di dlingo bantul di awali oleh beberapa orang bodoh yang mencoba mencari kebenaran pasca soekarno di ibas habis oleh orde baru, mereka membiarkan diri mereka tanpa KTP dan dijemput KODIM setiap saat. mereka tersebar di berbagai desa di dlingo dan bergabung dengan salah satu partai yang tidak asing lagi pada waktu itu. Sampai saat ini darah mereka masih merah membara dan membakar setiap sistem yang menindas rakyat. Di awali oleh Alm.Hartono asl:dangwesi terong, Suyadi aasl:terong 2 "Off The Record", Paijo asl muntuk"Off The Record", Poniran asl dangwesi terong,Kulman asl dlingo "Off The Record", Alm.Purwosutarto asl dlingo, Marwanto asl temuwuh "Off The Record" dan lain sebagainya. Apakah meraka selama ini tetap Marhenis..? ya jawabanya adalah ya, merka yang Off The Record hanya melepaskan baju sebentar namun jiwa dan hati mereka sebenarnya tidak rela melihat baju merahnya kotor dan terpaksa di lepaskan mereka hanya menunggu mesin cuci hidup lagi dan baju merah itu di cuci lagi seingga bersih dan pantas di pakai oleh para Marhaen.
Namun kini satu lagi "Marhaen Dlingo telah berpulang kepada Tuhan" Ngeri melihat sebuah kenyataan bahwa perjuangan itu harus berakhir di liang lahat. Ngeri melihat tidak satupun dari para nasionalis yang menyebut dirinya agen-agen pembesar konsep Marheaenis nasionalis Soekarno tidak ada yang menampakkan batang hidungnya. Apakah ini adalah sebuah akhir penjiwaan pesan-pesan pemimpin besar revolusi kita. Meraka Telah mengingkari pesan 'JASMERAH" bagi kami mereka bukan pengikut dan pelestari semangat Marhaen dan nasionalisme Soekarno, Nasionalisme Indoesia. Slamat Jalan "Alm.Bp.Purwo Sutarto" Kami Lanjutkan sampai kami bernasib sepertimu, jika memang sulit untuk menembus pikiran orang-orang cerdas yang manindas.
3 Melu Omong:
Maskoetot, memang ada banyak hal yang menurut orang lain itu tidak penting, namun Marhenisme itu adalah darah yng mengalir dalam jiwa raga kita, kita harus menjaganya, dan jangan perdulikan siapapun juga, karena miskin adalah pakaian kita. Pengurus PNI-Front Marhenis Indonesia,JAKARTA.
Setuju, JIka memang mulut ini sudah tidak ada artinya lagi, lepaskan saja, untaikan dalam tali yang kuat nasionalisme soekarno itu dalam jiwa dan pikiran dan biarkan mati bersama raga kita, karena itu jauh lebih beruntung dari pada bangsat-bangsat yang terus menggerus Nasionalisme Indonesia yang di gagas bapak besar kita.
Mahaenisme adalah darah yang mengalir...menjaganya adalah sebuah kehormatan, MERDEKA!!!!
Posting Komentar
Saksampunipun Maos Nyuwun dipon Unek-Unekken