Pembangunan Pasar Dangwesi Terong Dan Sebuah Harapan

Dlingo : Hampir setiap hari setiap saya bangun dari tidur dahulu maka  pasar tradisional di samping rumah, yah tentu pasar Dangwesi yang terletak di perbatasan paling timur Desa Terong Dlingo sudah begitu ramai. Pertama saya melihat pasar ini kiosnya berada di sepanjang jalan, dan bahkan tidak banyak yang masuk ke dalam los-los sehingga hanya cukup duduk di atas sepeda motor sudah bisa bertransaksi.

Tentu alasan utamanya sebenarnya hanya ada tiga hal pokok. Dengan uang yang sama, rata-rata pengunjung mendapatkan lebih banyak jika berbelanja di pasar tradisional ini. Di samping itu kebanyakan masyarakat Dlingo menyukai tawar-menawar dan di pasar tradisional, walau hanya sekadar limaratus rupiah proses tersebut berjalan harmoni. Yang lebih memberikan keuntungan lagi bahwa para pedagang disana tidak diberatkan oleh biaya sewa lapak dan lokasi berdagang yang memberatkan, sehingga pedagang nyaman dalam bertransaksi.

Dalam suasana pasar tersebut saya melihat sebuah kerinduan bisingnya tawar-menawar yang pernah saya dengar. “Seribu cabe merah,’Yu” “limang ringgit wae” “alah Mbok rasah larang-larang” dan lain sebagainya. Suasana begitu akrab yang saya rasakan berbeda jika saya berada di pasar modern. Tentu akan berbeda jumlah cabenya jika kita membeli di tempat langganan. Ada rasa “trust” di antara pembeli dan pelanggan yang terbangun baik.

Dengan konsep pasar tradisional yang berbeda dengan pasar Moderen maka pasar Dangwesi yang saat ini telah dibangun infrastrukturnya. Namun ada harapan yang sampai saat ini masih belum terjawab. Tapi minimal ada 3 hal yang mungkin dapat mewakili aspirasi para pedagang terkait rencana tindak lanjut pengembangan pasar dangwesi. Setidaknya para pedagang mendapatkan jaminan 3 halantara lain : harga kios, suasana dan profesionalisme.

Harga Kios : tentu pedangang memiliki perhitungan tersendiri dalam rumus ekonomi mereka, apabila harga sewa kios dirasa terlalu mahal, mungkin mereka urung berjualan di pasar dangwesi dan memilih berjualan di rumah “Home Industry”. Hal ini mungkin juga kalau dibiarkan maka “SERAT JOYOBOYO” terbukti lagi : “Pasar Ilang Kumandange”. Seharusnya pasar tradisional dengan menggunakan pengelolaan modern tidak disharmoni dengan karakter pedagang tradisional. Apabila ini terjadi maka pasar tradisional hanya akan menjadi museum saja, dikunjungi tapi hanya untu dilihat, karena harga sudah melambung disebabkan sewa kios yang sudah terjanur disewa dan mahal.

Suasana : pasar tradisional tidak perduli musim baik hujan atau kemarau sekalipun. Meski menjadi kubangan lumpur para pembeli tetap saja berdatangan. Dan tidak ada dominasi pedagang besar, meskipun ada pedagang dengan modal besar namun pembeli lebih cerdas dan mengedepankan rasa dan bukan keuntungan semata. Suasana juga terpengaruh settingan ruang dan los-los pasar, karena bagaimanapun sebagai pembeli masyarakat lebih nyaman dengan suasana tradisional yang tidak kaku dan terlihat banyak petugas berseragam yang lebih mirip penjara.

Profesionalisme: pedagang dan pembeli tidak pernah dibebani dengan beban sewa ini bayar itu, tagihan ini sumbangan itu. Mereka hanya secara suka rela selain berdagang juga berpartisipasi dalam aktifitas social meski tidak disadari dan terorganisasi. Mereka juga tidak tahu bahwa dengan membayar mereka mendapatkan apa dan meraka juga tidak pernah menuntut untuk di berikan fasilitas apapun. Dengan dikelolanya pasar dangswesi tentu akan merubah keadaan ini, paling tidak dengan harga patokan yang akan ditentukan juga akan berpengaruh pada tuntutan, pada proses transisi. Minimal jika memang akan dikelola secara professional maka pengelola harus memberikan pelayanan prima, atau secra lambat laun PASAR ILANG KUMANDANGE.

Intinya adalah ada kenikmatan berbelanja di pasar tradisional, orang bisa mengetahui harga atau kuantitas di kios ini lebih menguntungkan dibandingkan di kios ujung sebelah lainnya. Pengunjung juga suka dengan kualitas tahu di dekat tukang ayam langganannya, sehingga tak ingin pindah ke tukang tahu lain. Inilah konsep-konsep dasar ekonomi yang saya pelajari di pasar tradisional. Sekarang adalah masalah waktu dan itikad pemerintah desa Teronglah untuk meremajakan pasar tradisional tanpa harus mengubah nilai dari pasar tradisional tersebut.

0 Melu Omong:

Posting Komentar

Saksampunipun Maos Nyuwun dipon Unek-Unekken