REFLEKSI DESA DESA DLINGO Antara HARAPAN dan KENYATAAN

Masyarakat umumnya terlanjur salah kaprah dalam memahami proses pembangunan Janji-janji kampanye calon Lurah Desa pada saat proses pemilihan tidak terseleksi secara benar dan terbuka sesuai pemahaman awam, "TIDAK TERJELASKAN". Kelincahan para pelaku politik tingkat desa menyamarkan hampir disetiap kelemahan dan kebobrokannya dengan gelar ketokohan yang disandangnya. Sehingga objek politik (Masyarakat) yang relatif awam terkait sumber-sumber pendanaan cenderung merasa telah terjadi perubahan didalam proses pembangunan desanya.

Janji Kampanye calon Lurah desa bisa dipastikan sebenarnya melebihi ekspektasi kemampuan si calon lurah itu sendiri. Hal ini terlihat bahwa sebenarnya apa yang dijanjikan adalah bukan sebuah inovasi namun merupakan program yang sudah ada dan berjalan atas dana-dana yang berasal dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Artinya adalah bahwa inisiasi dan inventarisasi kebutuhan masyarakat diperoleh bukan melihat pada kendala-kendala hakiki yang terjadi secara spesifik pada tataran lokalitas kewilayahan lingkungan desa namun semata-mata disambung-sambungkan dengan program dan kegiatan yang disediakan anggarannya oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Memang ada sebuah keharusan sinergitas antara pemerintah desa dengan pemerintah diatasnya, namun harus juga dilihat bahwa tidak semua konsep pembangunan dan mekanisme penganggaran pemerintah daerah juga pusat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya terjadi secara lokalitas di wilayah desa. Disinilah seharusnya posisi seorang calon lurah diuji kemampuannya dalam membangun sebuah konsep pembangunan berbasis kemandirian untuk ditawarkan kepada masyarakat sebagai pemilih.

Kecenderungan-kecenderungan evoria proses kemenangan politik, mengesankan diri sebagai pembawa perubahan serta pencitraan justru menjadi sebuah tontonan monoton yang dipertunjukan ketika seorang lurah berhasil menjabat dan terpilih sebagai lurah desa. Dalilnya adalah mengambil hati masyarakat dengan slogan-slogan yang sebenarnya membodohi masyarakat. Kemajuan jaman dan pesatnya teknologi selalu saja menjadi sebuah icon konyol dan terlihat kurang persiapan meskipun dalam persepsi masyarakat akan tampak moderen dan cangih, dan dapat dipastikan juga tidak akan banyak masyarakat yang memanfaatkan produk teknologi tersebut.

Jika dilihat secara seksama, dapat diketahui berapa persen seorang lurah mampu berinisiasi dengan kemampuan sendiri dan dengan konsep berdikari. Namun yang terjadi bertolak belakang dengan yang selama ini selalu digaungkan. Seorang lurah cenderung mengajari masyarakat untuk menjadi pengrajin PROPOSAL. Proposal tersebut terkadang dikonotosikan dengan suntikan dana dan diklaim "KALAU BUKAN SAYA "LURAH DESA" TIDAK AKAN ADA PEMBANGUNAN", padahal modalnya adalah proposal dari masyarakat, artinya desa cuma sebatas sebagai fasilitator saja, ironisnya setelah dana-dana proposal itu cair maka lurah dan desa lebih mendominasi dalam proses pelaksanaannya. Sehingga ketika dari awal sudah bersifat pemberdayaan dan partisipasi aktif, ditengah mendapatkan fasilitasi dari desa namun di akhir ketika dana cair maka seorang lurah dan desa membuat aturan-aturan pelaksanaan yang jauh menyimpang dari konsep pemberdayaan dan partisipatif tersebut baik tertulis maupun secara kesepakatan saja.

Kemandirian masyarakat desa bisa terwujud tanpa perlu dirangsang dengan bantuan dana. Upaya memandirikan masyarakat desa dan membangun pemikiran yang positif sebenarnya dapat saja dikembangkan dan dilakukan dengan memberikan fasilitasi bimbingan dan pengarahan kepada para pekerja sosial di desa untuk melakukan inventarisasi sesuai tantangan dan hambatan spesifik yang dialami didesanya untuk kemudian dicarikan solusi. Perubahan mind set masyarakat bahwa tidak melulu bantuan harus dengan proposal dan uang harusnya segera dibangun.

Dari sisi pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa, budaya pengrajin PROPOSAL merupakan sebuah kelemahan mendasar namun selalu saja dilakukan dan berulang-ulang. Entah apa yang mendasari namun dengan cara ini seorang lurah secara langsung sudah mengingkari janji kampanye yang sudah dikoar-koarkan kepada masyarakat. Masyarakat dibodohi oleh lurah terpilih karena sebenarnya si LURAH tidak mempunyai kemampuan managerial baik serta konsep yang tajam dan bersifat lokal/tidak memahami kebutuhan warganya, karena hampir setiap persoalan selalu diatasi dengan PROPOSAL dan mencari bantuan dana.

Sementara itu  ada Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan untuk menjabarkan UU No 8 / 2005 tentang Perubahan atas UU No 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keberadaan PP Nomor 72 Tahun 2005 ini juga amat strategis. utamanya yang terkait dengan kemandirian desa, dan sebagai lurah desa terpilih kebanyakan dalam memimpin desa lebih suka membawa dalil agamis dan berkerudungkan amal baik dengan "sisa lebih" dari proposal dan bantuan yang cair. Hal ini kurang pas karena ketika berbicara dalam konteks "LURAH" sebagai bagian dari "APARATUR NEGARA" seharunya kitabnya adalah "PANCASILA dan UU NKRI". PANCASILA dan UU NKRI adalah sebuah terjemahan atas hasil pengkajian mendalam dari kitab-kitab suci agama oleh para pendiri bangsa ini, dan dikhususkan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pada tataran paling bawah adalah pemerintahan desa.

Pemanfatan sumber daya dan potensi desa berdasarkan peraturan tersebut seharusnya menjadi sebuah ajang berlomba bagi para lurah desa untuk berkreasi dan berinovasi dan berimprovisasi dengan tema pembangunan yang dijalankan pemerintah, bukannya dijadikan sumber utama pendapatan apalagi sebagai ajang pembenaran atas bertumbuh dan mengembangkan budaya proposal meskipun hal tersebut di bolehkan. Jika hal tersebut dijalankan dan turun temurun maka sesunguhnya bom waktu itu dibuat oleh para lurah desa dengan memberdayakan senjata PROPOSAL dan meminta-minta. Inggat negara sebesar Amerika serikat saja bisa bangkrut pemerintahannya, coba bayangkan jika negara ini bangkrut sementara budaya proposal menjamur...? kekacauan pasti terjadi dan masyarakat pasti tidak mampu berbuat apa-apa karena selama ini mereka dibudayakan meminta-minta dengan PROPOSAL?..mau minta siapa jika negara bangkrut padahal hidup harus terus berjalan..?????

Potensi desa adalah sumber daya yang dimiliki desa yang dapat digunakan dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah akan memengaruhi perkembangan wilayah desa terkait. Pola inventarisasi terhadap kebutuhan masyarakat desa setidaknya dapat dipahami dan digolongkan sebagai berikut :

1. Wilayah desa berpotensi tinggi: Terdapat di daerah dengan lahan pertanian subur, topografi rata, dan dilengkapi dengan irigasi teknis maka Kemampuan wilayah tersebut untuk berkembang lebih besar.
2. Wilayah desa berpotensi sedang : Terdapat di daerah dengan lahan pertanian agak subur, topografi tidak rata, serta irigasi sebagian teknis dan semiteknis. Wilayah model seperi ini masih cukup mempunyai kemampuan untuk berkembang.
3. Wilayah desa berpotensi rendah : Terdapat di daerah lahan pertanian tidak subur, topografi kasar (perbukitan), sumber air bergantung pada curah hujan dan sumur dalam. Wilayah ini sulit untuk berkembang namun bukan berarti tidak berpotensi untuk maju.

Alih-alih dalil-dalil pembawa perubahan namun jika berani jujur, bukankah selama ini hanya mengandalan bantuan dan anggaran rutin desa. Lalu apa yang akan diwariskan pada generasi kedepan..."KALAU BUKAN KETERGANTUNAGAN, APA LAGI?".....PEMBODOHAN ini terasa sanggat, masayarakat tidak tahu tapi waktu yang akan menjawab...

0 Melu Omong:

Posting Komentar

Saksampunipun Maos Nyuwun dipon Unek-Unekken