Dlingo : http://tembi.net: Menurut rumor yang beredar di
antara para pelaku “budaya spiritual” konon Sultan Hamengku Buwana X
sebelum naik tahta pernah mandi berkah di Sendang Banyu Panguripan.
Mbah Rejomulyo (86), istri juru kunci sepuh sendang, membenarkan
adanya rumor tersebut. Pada dekade tahun 70-an, Sultan
Hamengku Buwana X yang kala itu masih memakai nama gelar GPH
Mangkubumi sekali waktu pernah mengunjungi Sendang Banyu Panguripan
yang terletak di Dusun Banyuurip, Jatimulyo, Dlingo, Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Ia datang diantar oleh sopir, dan membawa gula
pasir sebanyak 10 bungkus.
" Mengenai
alasan datang mengunjungi Sendang Panguripan, Mas Tik menjawab
selain karena pernah digunakan oleh GPH Mangkubumi, tempat tersebut
pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menghidupkan Cakrajaya "
Saat bertemu dengan Mbah
Rejomulyo, GPH Mangkubumi minta supaya diguyur dengan air sendang
sebanyak 10 ember. Mendengar permintaan tersebut, Mbah Rejomulyo
bertanya dalam hati, inikah sosok pengganti Sultan yang kelak akan
bertahta. Pertanyaan tersebut mengusik rasa hati kala Mbah Rejomulyo
mengguyurkan air ke atas kepala GPH Mangkubumi sampai membasahi
seluruh tubuh.
Usai dimandikan, GPH Mangkubumi
duduk bersila di sebelah selatan sendang menghadap ke selatan. Dalam
gelapnya malam karena semua lampu dimatikan, Mbah Rejomulyo yang
kini sudah almarhum melihat sinar terang benderang menyelimuti raga
GBP Mangkubumi. Cahayanya berpendar sampai celah-celah daun beringin
putih yang tumbuh di sebelah barat sendang. Pemandangan yang baru
pertama kali ditemui oleh Mbah Rejo. Pendar cahaya itu rupanya
menjadi tanda awal terjawabnya pertanyaan yang mengusik rasa Mbah
Rejo. Pertanyaan itu terjawab sepenuhnya manakala GPH Mangkubumi
naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Keraton
Yogyakarta. Pengalaman tersebut bagi Mbah rejo sangat berharga.
Pasalnya sangatlah jarang ada orang yang mempunyai kesempatan
melihat cahaya seperti itu, yang juga sekaligus sebagai berkah
baginya.
Berkah itu yang diharapkan
dapat dirasakan juga oleh sekalian warga yang datang berkunjung,
seperti Mas Sutikno (40) asal Dusun Pucung, Imogiri. Pagi itu di
penghujung hari bulan Sura Mas Tik, demikian panggilan akrabnya,
datang diantar anaknya. Ia datang untuk mencari kesembuhan, karena
ada benjolan yang tumbuh di rongga hidungnya, yang sering kali
menghambat pernafasan. Pagi itu Mas Tik dibantu oleh
Mbah Rejo putri menyempurnakan peziarahan. Asap kemenyan yang
dibakar Mbah Rejo membumbung keluar melalui tungku cungkup,
menghantarkan doa permohonan ke hadirat Tuhan Yang Maha Penyembuh.
Wanginya bunga mawar merah putih menjadi simbol harum mewanginya
nama ayah bunda yang melahirkan Mas Tik. Semerbak aroma bunga melati
menyucikan rasa. Air yang diusapkan ke muka menjadi simbol
pembersihan raga.
Raga Mas Tik nampak lebih bugar
setelah unjukkan doa. Mengenai alasan datang mengunjungi Sendang
Panguripan, Mas Tik menjawab selain karena pernah digunakan oleh GPH
Mangkubumi, tempat tersebut pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga
untuk menghidupkan Cakrajaya.
Mengenai cerita Sunan tersebut
dibenarkan oleh Bu Yanti salah satu putri Mbah Rejo yang ikut
membantu para peziarah. Bu Yanti yang juga salah seorang Abdi Dalem
Keraton Yogyakarta dengan nama gelar Bekel Sepuh Surakso Warih
menuturkan bahwa kala itu Sunan Kalijaga sedang berjalan-jalan di
daerah Bagelen sekaligus berdakwah, bertemu dengan seorang penderes
air nira namanya Cakrajaya.
Saat bertemu Sunan menyapa
‘klonthang-klanthung wong nderes buntute bumbung’. Cakrajaya
kemudian menjawab ‘iki tinggalane nenek moyang men akeh legene…akeh
payune’. Karena tertarik dengan yang dilakukan Cakrajaya, Sunan
Kalijaga menyampaikan niat untuk ikut membuat gula aren. Niat
tersebut disambut dengan senang hati oleh Cakrajaya.
Berhari-hari Sunan yang kala
itu berpakaian seperti orang pada umumnya ikut membuat gula aren
dalam bentuk tangkepan atau sepasang. Setelah dirasa cukup, Sunan
minta diri akan melanjutkan perjalanan. Selang beberapa hari air
nira pun jadi gula aren. Satu per satu tangkepan dibuka. Dari sekian
banyak gula tangkepan ada yang satu yang membuat Cakrajaya terkejut.
Pasalnya air nira yang membeku setelah dibuka tak berwujud gula aren
tangkepan tapi bewujud emas. Cakrajaya pun berkata kepada istrinya,
“Mbokne jebul wong kang melu ewang-ewang awake dhewe gawe gula dudu
wong sabaene…lha iki lho gula gaweane dheweke dadi emas”.
Terdorong oleh rasa penasaran,
Cakrajaya pun berpamitan pada istrinya hendak mencari Sunan. Dalam
perjalanan pengembaraan akhirnya Cakrajaya pun bertemu dengan Sunan
di Dusun Selomiring tak jauh dari letak sendang yang kala itu masih
berupa cekungan tanah karst yang cukup dalam. Rasa hati Cakrajaya
dipenuhi keinginan untuk berguru pada Sunan. ‘Kowe ana kepentingan
apa Cakra?’ Tanya Sunan. ‘Sowan kula menawi diparengke badhe ndherek
meguru, necep ngelmu dumateng panjenengan’ .‘Bayare abot…apa gelem
nebus kowe’ tanya Sunan. ’pinten reyal tetep kula bayar’ ‘wujud
bayarane dudu duwit ananging nganggo laku kang utama…aja nyebal seka
garising urip’. ‘Sendika’ kata Cakrajaya dengan penuh semangat.
Cakrajaya kemudian diajak Sunan
naik ke atas sebuah bukit di dekat Sungai Oya. Namanya Gunung Ngajen.
Di sana Cakrajaya diberi beberapa petuah tentang laku peziarahan
batin yang layak dilakoni dengan sepenuh hati. Dirasa cukup,
kemudian mereka turun kembali ke Dusun Selamiring. Untuk mengetahui
kesungguhan niat Cakrajaya untuk berguru, Sunan berkata ‘ teken iki
tungganana…aku arep nindakake shalat sedhela neng Mekkah’. (Jagalah
tongkat ini... aku mau shalat sebentar di Mekkah).
Dengan penuh setia Cakrajaya
menunggui teken (tongkat) yang terbuat dari kayu rasamala itu. Waktu
pun cepat, tanpa terasa sudah hampir sewindu Cakrajaya tak berpindah
tempat sedikit pun. Menunggui teken beralaskan batu padas kesetiaan
dan berpayung angkasa harapan. Tanpa makan minum dan tidur. Sekitar
tempat Cakrajaya duduk pun berubah jadi semak belukar. Pohon bambu
ori tumbuh mengitari tubuh Cakrajaya yang mulai nampak kehijauan.
Seakan berubah menjadi lumut.
Teringat akan tugas yang
diberikan pada Cakrajaya, Sunan kembali ke Dusun Selamiring. Yang
ditemui hanyalah semak belukar. Untuk memastikan keadaan Cakrajaya,
Sunan berkata lantang ‘jebeng cakrajaya apa kowe isih ana neng kono?’
.‘taksih’ jawab Cakrajaya ‘kok kowe ora lunga?’ ‘ sabab kula
kadhawuhan nenggo teken panjenengan’ jawab Cakrajaya.
Sunan lalu berkata ‘oh ya kuwi
pitukone ngelmu…eling-elingen ngelmu kang tau tak paringake marang
sira…grumbul iki arep tak obong’. Semak belukar dan juga rumpun
bambu pun dibakar oleh Sunan. Api menyala sampai angkasa, terlihat
sampai tempat yang ada di utara grumbul. Tempat tersebut di kemudian
hari bernama Dusun Muladan. Begitu api padam Sunan menemukan
Cakrajaya dalam keadaan samadi. Sukma nampak meninggalkan raga.
Tubuhnya berubah jadi coklat kehitaman karena terbakar oleh api.
Untuk mengambalikan sukma yang meninggalkan raga, Sunan kemudian
bertafakur memohon petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Dalam sunyi Sunan
melihat seberkas cahaya hijau memancar dari arah timur Selamiring.
Maka dicarilah tempat itu.
Setelah ketemu, tongkat yang ditunggui oleh Cakrajaya kemudian
ditancapkan. Tak lama setelah dicabut keluarlah air dari bekas
tempat menancapnya tongkat. Dengan air itulah raga Cakrajaya
disucikan. Sukma pun menyatu kembali dengan raga. Raga yang mulanya
mati suri kembali hidup sepenuhnya. Tempat keluarnya air yang
digunakan untuk menyucikan raga Cakrajaya kemudian hari diberi nama
BanyuUrip atau Banyu Panguripan. Artinya air yang memberi kehidupan.
Atau dapat dimengerti sebagai air yang menjadi sumber kehidupan,
baik kehidupan raga maupun kehidupan roh.